Oleh: Murdiansyah
Pendidikan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dengan
kehidupan manusia. Juga diyakini sebagai tangga menuju derajat tertinggi dan
kunci masuk daun pintu kesuksesan. Tapi bagi segelintir orang di pedesaan dan
terpencil, mindset tentang betapa pentingnya pendidikan masih belum diyakini.
Tidak bisa dipungkiri jika masih ada yang menganggap pendidikan hanya
kebutuhan sekunder yang tidak wajib dikenali dan juga tidak menjadi jaminan
bahwa pendidikan bisa menjadi kayu bakar bagi tungku mereka untuk bisa terus
mengepul. Bagi sebagian masyarakat, bertani lalu panen dan berpenghasilan
dengan cepat menjadi hal utama untuk bisa memenuhi kebutuhan keseharian. Hal
ini mereka yakini sebagai takdir yang harus dijalani tanpa harus memikirkan
biaya yang lain.
Sebagaimana substansi pendidikan yaitu memanusiakan manusia, Maka tidak
heran jika pendidikan selalu menjadi objek yang menarik ditelisik dan
diperbincangkan disetiap sisinya. Terlebih di era sekarang ini, era kaum
milenial. Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan memaksa setiap
individu harus memilih salah satu persimpangan, mengikuti arus dengan jalan
mengupdate perkembangan lalu beradaptasi atau melawan arus dengan konsekuensi
tergerus oleh zaman dan ketingglan jauh dibelakang.
Ikut dalam kontestasi perkembangan yang kian cepat dan tak
terkendalipun, individu juga masih di perhadapkan oleh pilihan, memanfaatkan
kemajuan teknologi untuk berusaha sebaik mungkin menjadi insan yang cerdas atau
malah diperbudak oleh kemajuan teknologi itu sendiri.
Hidup selalu diwarnai oleh pilihan, tak terkecuali dalam hal mengenyam
pendidikan. Memilih untuk terus melanjutkan pendidikan sampai pada tingkat
tertinggi, memilih untuk membatasi sampai jenjang tertentu atau bahkan memilih
untuk apatis dan tidak mengenal dunia pendidikan sama sekali adalah hak setiap
individu. Realita seperti ini masih sering dijumpai dikalangan masyarakat
pedesaan dan terpencil.
Bagi tenaga pendidik di sekolah daerah terpencil, masalah dan kendala
yang beragam menjelma dalam wujud yang beraneka ragam pula. Kondisi ini
merupakan santapan keseharian disetiap langkah dan tarikan nafas. Baik kendala
yang sifatnya klasik seperti yang berkaitan dengan peserta didik, akses, sarana
dan prasarana, sampai kepada masalah yang bersinggungan dengan pola pikir
masyarakat sekitar.
Krisis kesadaran terhadap pendidikan, atau yang lebih fatal lagi yaitu
sampai kepada minimnya dan bahkan lenyapnya kepercayaan masyarakat terhadap
kehadiran sekolah di daerah mereka. Tentu tidak lepas dari kualitas yang
dihasilkan atas kehadiran sekolah itu sendiri, atau mungkin juga mindset
masyarakat yang memang telah mengakar sejak dahulu.
Hal yang pasti, tentunya menjadi tanggung jawab bagi kehadiran sekolah
untuk mengikis sedikit demi sedikit segala macam masalah, menonjolkan
eksistensinya dan menjadi alat penerang bagi masyarakat awam. Tidak peduli
sekolah itu berstatus baru atau lama, negeri atau bukan.
Tantangan dan Ancaman.
Menjadi guru di sekolah terpencil bukan perkara mudah. Setiap pagi
harus berjuang membelah udara pagi, menerobos dan menaklukkan medan sampai
bermil-mil, menaiki dan menuruni bukit serta sekali-kali harus melewati jalanan
yang menukik dan terjal bahkan harus menyeberangi sungai dan jalanan berlumpur.
Begitupun sore harinya saat pulang, harus kembali menapaki jalan yang sama
untuk sampai di tempat rebahan.
Suasana ini tentunya sangat dirasakan bagi guru yang bertempat tinggal
jauh dari lokasi sekolah tempatnya mengabdi. Apalagi sekolah yang masih
berstatus baru dan belum memiliki perumahan khusus guru. Tidak jarang bagi
mereka yang tidak punya pilihan lain selain harus mencari tempat tinggal atau
menumpang di rumah-rumah warga demi tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang
guru.
Pilihan untuk menginap di lokasi sekitaran sekolah selama hari kerja
dan jauh dari tempat tinggal mereka yang asli memperlihatkan pengabdian yang
sesungguhnya. Terkadang ada diantaranya yang harus menyewa tempat tinggal.
Tinggal di daerah terpencil harus didasari oleh kebiasaan yang serba
terbatas. Terbiasa dengan akses internet yang terbatas, memungkinkan terisolasi
dari informasi dan perkembangan yang penyebarannya sangat cepat di luar.
Tinggal dan mengajar di daerah terpencil serta berinteraksi dengan
masyarakat dan peserta didik memungkinkan seorang guru harus terbiasa dengan
karakter lingkungan yang mungkin saja sangat jauh berbeda dengan lingkungan
tempat tinggalnya yang asli.
Sebagai tenaga pendidik yang mengabdi di sekolah terpencil juga harus
terbiasa dengan sarana dan prasarana yang terbatas, lingkungan sekolah yang
masih terbuka lebar karena belum berpagar permanen sehingga sedikit menguras
tenaga dan waktu dalam mengontrol peserta didik saat proses belajar mengajar
berlangsung.
Pemandangan yang lain seperti peserta didik harus belajar di ruangan
belajar dengan kapasitas over karena terbatasnya ruangan merupakan hal lazim,
belajar di ruangan darurat sebagai pengganti ruangan belajar permanen juga
bukan pemandangan asing, keterbatasan laboratorium, perpustakaan dan ruang guru
yang harus menumpuk menjadi satu ruangan, bahkan kadang di alihkan menjadi
ruang belajar peserta didik juga merupakan hal biasa.
Peran penting tenaga pendidik.
Kehadiran sekolah di tengah masyarakat dengan berbagai keterbatasan
ditambah pengelolaan dan manajemen yang amburadul memunculkan citra yang buruk
pula di mata masyarakat. Wibawa lembaga pendidikan yang harusnya memberikan
kesan yang baik bagi masyarakat justru akan menghilangkan kepercayaan terhadap
pentingnya pendidikan.
Dipandang sebelah mata dan diperlakukan layaknya tidak ada adalah hal
yang menyakitkan. Dianggap nampak tapi tidak berwujud sangat sulit diterima
logika. Dibanding-bandingkan dengan sekolah yang lain juga sangat memberangsang
isi kepala. Ikhlas dan sabar adalah kunci yang harus diapit rapat meskipun dalam
dada sesak dan berkecamuk.
Dititik inilah peran aktif dan kerja keras tenaga pendidik sangat dituntut
untuk lebih banyak meluangkan waktunya menata setiap langkah strateginya
menyikapi persoalan yang ada. Serta mewarnai setiap sudut tembok masalah dengan
corak kreativitas yang dimilikinya.
Menghadapi peserta didik yang notabene masih didominasi oleh pemikiran
apatis terhadap pentingnya pendidikan tentulah tidak mudah menemukan vaksinnya.
Ditambah daerah yang mereka tempati lahir, tumbuh dan besar tertinggal jauh oleh
perkembangan dibanding peserta didik yang ada diperkotaan yang segala perkembangan
dapat mereka akses dengan cepat dan mudah.
Jika beragam masalah tidak dapat dikelola dengan baik dan membalikkan
keadaan menjadi sebuah tantangan untuk termotivasi melakukan yang terbaik, maka
tibalah pada titik yang sangat mencemaskan, yaitu ancaman krisis kepercayaan
masyarakat dan hal ini sangat butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan.
Ancaman ini sangat berdampak signifikan terhadap eksistensi sekolah dan
kualitas tenaga pendidik. Kedua hal tersebut berbanding lurus dan tak
terpisahkan. Sekolah maju adalah sekolah yang memiliki tenaga pendidik yang
berkualitas dan begitupun sebaliknya, tenaga pendidik yang berkualitas akan
senantiasa melakukan hal terbaik dan memahami tupoksinya demi memajukan
pendidikan disekolah tempatnya mengabdi.
Seduh kopinya, cium aromanya, lalu seruput perlahan.
Panjang umur aroma kopi.
Salam Edukasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar