Jumat, 09 April 2021

Deradikalisasi dengan Membumikan Pancasila



Kejadian aksi Bom bunuh diri tepatnya di gerbang Gereja Katedral Makassar Minggu (28/3/2021) pukul 10.30 WITA cukup mengejutkan masyarakat Indonesia terkhusus warga Sulawesi Selatan. Aksi yang menggemparkan ini ditengarai oleh pasangan suami istri. Beruntung tidak ada korban jiwa selain dari pasangan yang melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.

Menjelang beberapa hari berikutnya tepatnya Rabu (31/3/2021) sore, tindakan nekat juga diperlihatkan oleh seorang perempuan muda dengan menyusup masuk ke Mabes Polri yang super ketat penjagaannya tanpa terdeteksi. Aksinya menyedot perhatian karena dilakukan dengan sendiri tapi amatiran dan tidak terlatih tempur. Sampai akhirnya peluru petugas bersarang didadanya sekaligus menghentikan aksinya.

Aksi-aksi teror yang kerap terjadi di Tanah Air merupakan sinyal kuat bagi TNI dan Polri untuk lebih ekstra menyisir dan memberengus kelompok-kelompok radikal. Sampai detik ini, sel-sel terorisme masih merajalela merambah bak parasit disetiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kelompok ini bagaikan benalu yang menyusup disetiap lapisan masyarakat Indonesia. Jika tidak ditumpas sampai ke akarnya, maka akan terus menjadi kanker yang mengancam keutuhan NKRI.

Selain menebar ketakutan, kelompok ekstremis juga dengan lantang anti pemerintah dan alergi Pancasila. Dari aksi-aksi teror yang dilakukan, sangat jelas mengindikasikan bahwa kelompok ini menolak kemajemukan. Bagi mereka, paham diluar ideologinya harus diberantas dan diperangi. Dengan jalan inilah mereka beranggapan bahwa membunuh dan terbunuh merupakan jihad dan jalan pintas menuju syurga. Memang absurd, tapi kata jihad jika hanya di maknai secara parsial pasti membuat pincang dan buta, apalagi jika dicuci dengan baiat-baiat yang berpaham radikal maka lahirlah kelompok-kelompok ekstremisme yang siap memangsa mentah ideologi yang berseberangan ideologinya.

Aksi teror yang didalangi terorisme menyentil orang nomor wahid di Indonesia dengan mengeluarkan statement. Presiden Joko Widodo beranggapan bahwa terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, sementara asumsi lain muncul dari putri Presiden RI ke 4 (Alissa Wahid) yang menganggap bahwa aksi terorisme bersumber dari keyakinan beragama yang keliru dan berujung pada tindakan ekstemisme. Senada dengan Alissa Wahid, menurut saya dari pelaku teror baik yang meninggal karena aksi bom bunuh diri, atau meninggal karena melakukan kontak senjata dengan aparat, sampai pada mantan pelaku terorisme yang tersadarkan sangat jelas identitasnya. Umat Islam harus terbuka dan berbesar hati mengakui bahwa terdapat beberapa kelompok radikal yang melakukan aksi teror karena merasa menjalankan perintah agama berdasarkan pemahamannya. Berangkat dari kesadaran inilah upaya deradikalisasi bisa dioptimalkan.

Mendengar kisah perjalanan Ali Imron mantan terpidana teroris bom bali tahun 2002 lewat kompas tv, bahwa yang dibutuhkan dalam upaya deradikalisasi adalah sikap keterbukaan bahwa kelompok akstremis ini muncul karena bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak memberlakukan syariat islam di tanah air secara menyeluruh, serta paham jihad yang diinterpretasikan dalam artian perang. Bagi Ali Imron hanya butuh waktu dua jam menanamkan paham jihad yang dibelokkan kegenerasi muda untuk siap mati dalam menjalankan aksi terornya. Betapa rentannya generasi terpapar paham-paham terorisme apalagi jika generasi itu sudah memiliki basic tentang jihad. Fakta inilah menurut Ali Imron masyarakat harus tau jika ingin deradikalisasi karena terorisme bisa saja berkamuflase dalam bentuk dan rupa apa saja yang tentunya cukup sulit diidentifikasi.

Upaya deradikalisasi tidak cukup jika hanya melibatkan lapisan tertentu. Semua lapisan masyarakat harus terlibat. Tidak hanya mengharapkan pemerintah, aparat keamanan dan mantan teroris yang tersadarkan, tapi juga melibatkan peran aktif masyarakat karena kelompok ekstremis ini beranak pinak dilingkungan masyarakat itu sendiri. Tanpa terkecuali lembaga pendidikan yang merupakan urat nadi mentransfusikan nilai-nilai Pancasila dan paling pokok lingkungan keluarga yang merupakan jantung pertahanan pencegahan paling intim.

Membincang tentang deradikalisasi dalam kemajemukan, tidak akan efektif jika tidak memahami pondasi dalam bernegara dan berbangsa. Falsafah hidup bangsa Indonesia terkristalisasi dalam lima dasar yang oleh Soekarno sebut dengan nama Pancasila. Berdasarkan deretan sejarah, Pancasila tidak terbentuk secara spontan tapi melalui proses yang sangat panjang. Disisi lain Pancasila tidak serta merta dikonsep dalam waktu sekejap tapi di ilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia dengan tetap berakar pada jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri.

1 Juni 1945 merupakan salah satu rangkaian momentum paling bersejarah dalam proses perumusan dasar negara Indonesia. Diwaktu inilah Soekarno memainkan peran penting dalam mensintesiskan berbagai pandangan tentang dasar falsafah. Diwaktu ini pulalah yang dikemudian hari ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Dalam kutipan pidato Soekarno 1 Juni 1945 mengatakan “aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang ku namakan Pancasila. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakkan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.”

Dari pidato lantang Soekarno, sangat jelas bahwa Indonesia dengan beragam latar membutuhkan wadah sebagai pemersatu. Hal ini sebagai bentuk upaya untuk mencegah berbagai suku bangsa, agama, ras dan antar golongan tidak sektarian, maka digalilah nilai-nilai pandangan hidup dan nilai-nilai kemanusian dari berbagai kearifan tadi lalu diintegrasikan dalam ideologi Pancasila sebagai bantalan dan haluan bersama.

Dalam pandangan Yudi Latif, Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai ideologi “integralistik” yang mengatasi partikulasi paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat), setiap perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologi masing-masing. Namun, dalam wilayah publik kenegaraan, setiap perseorangan dan golongan itu harus menganut ideologi Pancasila sebagai titik temu.

Momentum bersejarah lainnya dalam proses perumusan dasar negara yang harus diketahui adalah kesepakatan perubahan piagam jakarta oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan tujuh kata setelah Ketuhanan yang awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak hanya itu, telah diubah pula klausul pasal pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat presiden. Ayat ini mulanya mensyaratkan Presiden harus orang islam kemudian diubah menjadi “harus orang Indonesia asli”.

Kisah perubahan tujuh kata dalam piagam jakarta diabadikan oleh M. Hatta dalam memorinya yang menceritakan bahwa datangnya wakil-wakil dari Protestan dan Katolik melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) sebagai bentuk keberatan mereka terhadap tujuh kata yang tertera dalam piagam jakarta. Bagi mereka tujuh kata itu hanya mengikat orang Islam saja dan merupakan bentuk diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Keberatan yang disampaikan oleh wakil-wakil Protestan dan Katolik melalui opsir Kaigun didepan M. Hatta waktu itu ditanggapi serius oleh M. Hatta karena Jika bentuk diskriminasi itu ditetapkan, maka mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Potongan catatan memori M. Hatta sebagai berikut: “karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.” (Hatta, Mohammad, 1979).

Dengan semangat prinsip Pancasila, Indonesia memiliki pondasi sebagai pandangan hidup yang visioner. Seyogianya dalam prinsip bernegara, tidak ada lagi kelompok-kelompok tertentu yang menolak ideologi Pancasila. Pancasila harus mampu meredam segala bentuk penolakan dan paham radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan. Sangat disayangkan jika beberapa negara yang tidak berfilosofi Pancasila tapi mampu mengamalkan karakter dan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila, sementara Indonesia yang berjati diri asli Pancasila dan memiliki rumusan formal Pancasila kurang menyadari kesaktian Pancasila untuk dikembangkan dan diamalkan dalam setiap sendi kehidupan.

Belajar dari deretan sejarah dan berangkat dari rentetan masalah kemajemukan yang tengah dialami Indonesia, diharapkan menjadi bahan refleksi pemerintah untuk lebih memassifkan pendidikan Pancasila disetiap elemen masyarakat dalam upaya deradikalisasi. Terkhusus di semua jenjang pendidikan, Pendidikan Pancasila harus terus digalakkan dan tidak terputus hanya dijenjang tertentu. Nilai-nilai Pancasila harus diakarkan kepada generasi Indonesia sejak dalam kandungan. Dalam artian bahwa sebelum generasi lahir, orang tua dalam keluarga terkhusus ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya sudah mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap ucap dan gerak tubuh.

Memaknai Pancasila berarti menegaskan komitmen bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan dasar dan ideologi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai konsensus bersama harus terafiliasi dan koheren dalam etika dan moral diberbagai aspek kehidupan Indonesia.

Dalam pandangan Yudi Latif, membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realitas, tak terhenti sekedar retorika dan ornamen di pentas politik. Oleh karena itu, Pancasila harus diradikalisasikan ke daratan realitas melalui Revolusi Pancasila untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Lebih lanjut Yudi latif mengatakan, kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. “Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya.”

Indonesia membutuhkan generasi-generasi Pancasila yang berjiwa patriot menggempur kelompok-kelompok ekstremisme yang mengancam keutuhan NKRI. Pastikan tidak ada tanah sejengkalpun tempat untuk para terorisme di negeri ini. Mengutip ungkapan Soekarno, “Dalam menghadapi aral rintangan, kita tidak boleh menyerah dan patah. Terkadang kita harus bisa melenting untuk kemudian kembali ke haluan penuntun.”

Salam Edukasi.

Kunjungi juga laman di sini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar