Kejadian aksi Bom bunuh diri tepatnya di gerbang Gereja Katedral Makassar Minggu (28/3/2021) pukul 10.30 WITA cukup mengejutkan masyarakat Indonesia terkhusus warga Sulawesi Selatan. Aksi yang menggemparkan ini ditengarai oleh pasangan suami istri. Beruntung tidak ada korban jiwa selain dari pasangan yang melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.
Menjelang
beberapa hari berikutnya tepatnya Rabu (31/3/2021) sore, tindakan nekat juga
diperlihatkan oleh seorang perempuan muda dengan menyusup masuk ke Mabes Polri yang
super ketat penjagaannya tanpa terdeteksi. Aksinya menyedot perhatian karena dilakukan
dengan sendiri tapi amatiran dan tidak terlatih tempur. Sampai akhirnya peluru
petugas bersarang didadanya sekaligus menghentikan aksinya.
Aksi-aksi
teror yang kerap terjadi di Tanah Air merupakan sinyal kuat bagi TNI dan Polri untuk
lebih ekstra menyisir dan memberengus kelompok-kelompok radikal. Sampai detik ini,
sel-sel terorisme masih merajalela merambah bak parasit disetiap sendi
kehidupan masyarakat Indonesia. Kelompok ini bagaikan benalu yang menyusup disetiap
lapisan masyarakat Indonesia. Jika tidak ditumpas sampai ke akarnya, maka akan
terus menjadi kanker yang mengancam keutuhan NKRI.
Selain
menebar ketakutan, kelompok ekstremis juga dengan lantang anti pemerintah dan
alergi Pancasila. Dari aksi-aksi teror yang dilakukan, sangat jelas
mengindikasikan bahwa kelompok ini menolak kemajemukan. Bagi mereka, paham diluar
ideologinya harus diberantas dan diperangi. Dengan jalan inilah mereka
beranggapan bahwa membunuh dan terbunuh merupakan jihad dan jalan pintas menuju
syurga. Memang absurd, tapi kata jihad jika hanya di maknai secara parsial pasti
membuat pincang dan buta, apalagi jika dicuci dengan baiat-baiat yang berpaham
radikal maka lahirlah kelompok-kelompok ekstremisme yang siap memangsa mentah
ideologi yang berseberangan ideologinya.
Aksi
teror yang didalangi terorisme menyentil orang nomor wahid di Indonesia dengan mengeluarkan
statement. Presiden Joko Widodo beranggapan bahwa terorisme tidak ada
hubungannya dengan agama tertentu, sementara asumsi lain muncul dari putri
Presiden RI ke 4 (Alissa Wahid) yang menganggap bahwa aksi terorisme bersumber dari
keyakinan beragama yang keliru dan berujung pada tindakan ekstemisme. Senada
dengan Alissa Wahid, menurut saya dari pelaku teror baik yang meninggal karena
aksi bom bunuh diri, atau meninggal karena melakukan kontak senjata dengan
aparat, sampai pada mantan pelaku terorisme yang tersadarkan sangat jelas identitasnya.
Umat Islam harus terbuka dan berbesar hati mengakui bahwa terdapat beberapa
kelompok radikal yang melakukan aksi teror karena merasa menjalankan perintah
agama berdasarkan pemahamannya. Berangkat dari kesadaran inilah upaya
deradikalisasi bisa dioptimalkan.
Mendengar
kisah perjalanan Ali Imron mantan terpidana teroris bom bali tahun 2002 lewat
kompas tv, bahwa yang dibutuhkan dalam upaya deradikalisasi adalah sikap
keterbukaan bahwa kelompok akstremis ini muncul karena bentuk kekecewaan
terhadap pemerintah yang tidak memberlakukan syariat islam di tanah air secara menyeluruh,
serta paham jihad yang diinterpretasikan dalam artian perang. Bagi Ali Imron
hanya butuh waktu dua jam menanamkan paham jihad yang dibelokkan kegenerasi
muda untuk siap mati dalam menjalankan aksi terornya. Betapa rentannya generasi
terpapar paham-paham terorisme apalagi jika generasi itu sudah memiliki basic
tentang jihad. Fakta inilah menurut Ali Imron masyarakat harus tau jika ingin
deradikalisasi karena terorisme bisa saja berkamuflase dalam bentuk dan rupa
apa saja yang tentunya cukup sulit diidentifikasi.
Upaya
deradikalisasi tidak cukup jika hanya melibatkan lapisan tertentu. Semua
lapisan masyarakat harus terlibat. Tidak hanya mengharapkan pemerintah, aparat keamanan
dan mantan teroris yang tersadarkan, tapi juga melibatkan peran aktif masyarakat
karena kelompok ekstremis ini beranak pinak dilingkungan masyarakat itu
sendiri. Tanpa terkecuali lembaga pendidikan yang merupakan urat nadi mentransfusikan
nilai-nilai Pancasila dan paling pokok lingkungan keluarga yang merupakan jantung
pertahanan pencegahan paling intim.
Membincang
tentang deradikalisasi dalam kemajemukan, tidak akan efektif jika tidak
memahami pondasi dalam bernegara dan berbangsa. Falsafah hidup bangsa Indonesia
terkristalisasi dalam lima dasar yang oleh Soekarno sebut dengan nama
Pancasila. Berdasarkan deretan sejarah, Pancasila tidak terbentuk secara
spontan tapi melalui proses yang sangat panjang. Disisi lain Pancasila tidak
serta merta dikonsep dalam waktu sekejap tapi di ilhami oleh gagasan-gagasan
besar dunia dengan tetap berakar pada jati diri dan kepribadian bangsa
Indonesia sendiri.
1
Juni 1945 merupakan salah satu rangkaian momentum paling bersejarah dalam proses
perumusan dasar negara Indonesia. Diwaktu inilah Soekarno memainkan peran
penting dalam mensintesiskan berbagai pandangan tentang dasar falsafah. Diwaktu
ini pulalah yang dikemudian hari ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.
Dalam
kutipan pidato Soekarno 1 Juni 1945 mengatakan “aku memang manusia. Manusia dengan
segala kedaifan dari pada manusia. Malahan manusia jang tidak lebih daripada
saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila.
Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang
ku namakan Pancasila. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku
melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima
perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80
juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakkan kepada daya pemersatu daripada
Pancasila itu.”
Dari
pidato lantang Soekarno, sangat jelas bahwa Indonesia dengan beragam latar
membutuhkan wadah sebagai pemersatu. Hal ini sebagai bentuk upaya untuk
mencegah berbagai suku bangsa, agama, ras dan antar golongan tidak sektarian,
maka digalilah nilai-nilai pandangan hidup dan nilai-nilai kemanusian dari
berbagai kearifan tadi lalu diintegrasikan dalam ideologi Pancasila sebagai
bantalan dan haluan bersama.
Dalam
pandangan Yudi Latif, Pancasila sebagai ideologi negara dapat dikatakan sebagai
ideologi “integralistik” yang mengatasi partikulasi paham perseorangan dan
golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas
(etnis, agama, dan golongan masyarakat), setiap perseorangan dan golongan masih
bisa mengembangkan partikularitas ideologi masing-masing. Namun, dalam wilayah
publik kenegaraan, setiap perseorangan dan golongan itu harus menganut ideologi
Pancasila sebagai titik temu.
Momentum
bersejarah lainnya dalam proses perumusan dasar negara yang harus diketahui
adalah kesepakatan perubahan piagam jakarta oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945. Perubahan tujuh kata setelah Ketuhanan yang awalnya berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak hanya itu, telah diubah pula klausul
pasal pada batang tubuh UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) tentang syarat presiden. Ayat
ini mulanya mensyaratkan Presiden harus orang islam kemudian diubah menjadi “harus
orang Indonesia asli”.
Kisah
perubahan tujuh kata dalam piagam jakarta diabadikan oleh M. Hatta dalam
memorinya yang menceritakan bahwa datangnya wakil-wakil dari Protestan dan Katolik
melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) sebagai bentuk keberatan mereka
terhadap tujuh kata yang tertera dalam piagam jakarta. Bagi mereka tujuh kata
itu hanya mengikat orang Islam saja dan merupakan bentuk diskriminasi terhadap
mereka golongan minoritas. Keberatan yang disampaikan oleh wakil-wakil Protestan
dan Katolik melalui opsir Kaigun didepan M. Hatta waktu itu ditanggapi serius
oleh M. Hatta karena Jika bentuk diskriminasi itu ditetapkan, maka mereka lebih
suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Potongan
catatan memori M. Hatta sebagai berikut: “karena begitu serius rupanya, esok
paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula,
kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku
Mohammad Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat
untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan
menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang
serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil
yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa
pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan
persatuan bangsa.” (Hatta, Mohammad, 1979).
Dengan
semangat prinsip Pancasila, Indonesia memiliki pondasi sebagai pandangan hidup yang
visioner. Seyogianya dalam prinsip bernegara, tidak ada lagi kelompok-kelompok tertentu
yang menolak ideologi Pancasila. Pancasila harus mampu meredam segala bentuk
penolakan dan paham radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan. Sangat
disayangkan jika beberapa negara yang tidak berfilosofi Pancasila tapi mampu mengamalkan
karakter dan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila, sementara Indonesia yang
berjati diri asli Pancasila dan memiliki rumusan formal Pancasila kurang menyadari
kesaktian Pancasila untuk dikembangkan dan diamalkan dalam setiap sendi
kehidupan.
Belajar
dari deretan sejarah dan berangkat dari rentetan masalah kemajemukan yang tengah
dialami Indonesia, diharapkan menjadi bahan refleksi pemerintah untuk lebih memassifkan
pendidikan Pancasila disetiap elemen masyarakat dalam upaya deradikalisasi.
Terkhusus di semua jenjang pendidikan, Pendidikan Pancasila harus terus
digalakkan dan tidak terputus hanya dijenjang tertentu. Nilai-nilai Pancasila harus
diakarkan kepada generasi Indonesia sejak dalam kandungan. Dalam artian bahwa sebelum
generasi lahir, orang tua dalam keluarga terkhusus ibu sebagai madrasah pertama
bagi anak-anaknya sudah mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam
setiap ucap dan gerak tubuh.
Memaknai
Pancasila berarti menegaskan komitmen bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan
dasar dan ideologi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila
sebagai konsensus bersama harus terafiliasi dan koheren dalam etika dan moral
diberbagai aspek kehidupan Indonesia.
Dalam
pandangan Yudi Latif, membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan
kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realitas, tak terhenti
sekedar retorika dan ornamen di pentas politik. Oleh karena itu, Pancasila
harus diradikalisasikan ke daratan realitas melalui Revolusi Pancasila untuk
mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur. Lebih lanjut Yudi latif mengatakan, kita biarkan
bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. “Siapa yang ingin memiliki
mutiara, harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudera
yang sedalam-dalamnya.”
Indonesia membutuhkan generasi-generasi Pancasila yang berjiwa patriot menggempur kelompok-kelompok ekstremisme yang mengancam keutuhan NKRI. Pastikan tidak ada tanah sejengkalpun tempat untuk para terorisme di negeri ini. Mengutip ungkapan Soekarno, “Dalam menghadapi aral rintangan, kita tidak boleh menyerah dan patah. Terkadang kita harus bisa melenting untuk kemudian kembali ke haluan penuntun.”
Salam
Edukasi.
Kunjungi juga laman di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar