Agustus 2021 masih menyisakan kobaran semangat memperingati dirgahayu ke-76 bagi Indonesia. Kibaran sang dwiwarna masih berdiri kokoh dibeberapa tempat. Twibbon bertuliskan ucapan selamat dengan gambar beragam terlihat memenuhi dinding sosial media. Bermacam aksi dipamerkan dalam mengekspresikan perayaan kemerdekaan Indonesia. Pemandangan yang lazim disaksikan setiap menyambut hari bersejarah itu.
Suasana
perayaan HUT RI ke-76 tahun ini tidak berbeda jauh dengan suasana tahun lalu.
Ingar bingar isu covid 19 masih memenuhi seantero ibu pertiwi. Seakan tidak
pernah usai, berita yang tersiar selalu memperlihatkan korban yang terus
berjatuhan. Meski stigma tentang kengerian corona tidak seangker awal
kemunculannya.
Euforia kemerdekaan
menutup kenyataan yang ada, bahwa Indonesia tengah berjuang mengarungi samudera
luas yang tidak bertepi. Seolah menari bebas di atas pundak yang tanpa disadari
atau bahkan disadari kepala sudah tercebur dikedalaman. Ayolah, jika kepala tidak
mampu berdiri tegak, setidaknya tolehkan sedikit saja untuk membuka mata bahwa keadaan
runyam saat ini membutuhkan hal sederhana selain sekadar berucap “MERDEKA”.
Setumpuk
permasalahan kian menggunung. Sederet ratapan kian membuncah. Dilain sisi kita menutup
mata dan telinga, mengedepankan ego, mengenyampingkan kebersamaan. Kita dengan
lantang berucap “Merdeka”, sementara buta hati dengan keprihatinan yang dialami
saudara sedarah.
Kita sibuk mengutuk,
menyumpahi musibah yang menimpa negeri ini. Sumpah serapah dilontarkan bak tau
segalanya, padahal hanya bermodalkan cerita yang berpindah dari mulut ke mulut.
Memunculkan beragam spekulatif. Mirisnya, kekhilafan terbesar yang dibiarkan
menghitam dalam diri adalah terbiasa mengisi hidup dengan dugaan. Tanpa ada
upaya tabayyun terlebih dahulu.
Sungguh
ironi, kita diberi kebebasan untuk meletakkan kepercayaan di mana saja dan
kepada siapa saja, tapi bukan berarti kebebasan yang dimiliki justru menjadi
penyebab orang lain tersakiti. Kita boleh berpendapat, tapi dengan terukur,
bukan dengan kebablasan. Kita boleh menganggap corona itu tidak ada, tapi hargai
mereka yang sudah banyak kehilangan sanak saudara. Bukan dengan mengumbar seolah
tau segalanya. Kita mesti berpikir, mungkin ketangguhan yang dimiliki saat menyumpah
adalah salah satu cara Tuhan menguji. Agar nanti saat arah mata angin berubah, urat
malu tidak perlu ditutupi dengan kedua tangan menengadah penuh penyesalan.
Apakah
perayaan kemerdekaan dalam keadaan sekarang itu salah? Apakah ucapan “Merdeka”
ditengah hiruk seperti sekarang itu keliru? Oh tidak kamerad, sama sekali tidak
salah, sama sekali tidak keliru. Justru menyambutnya adalah bagian dari
keharusan, karena di dalamnya ada pengibaran bendera merah putih yang diiringi
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di sana tersirat makna bahwa Indonesia hari ini
dan nanti harus bangkit dari keterpurukan, Indonesia harus bebas dari belenggu
masalah yang menderanya. Selain itu, di dalamnya juga kita dapat mengenang
pahlawan negara yang gugur membela nusa dan bangsa melalui lagu Mengheningkan
Cipta.
Lalu di mana
letak kekeliruannya? Adalah ketika kita larut dalam perasaan gembira yang berlebihan,
sementara saudara sebangsa setanah air berjuang sendiri melewati masa sulit
karena penyakit yang diderita, derai air mata yang terus mengalir karena
kehilangan pekerjaan untuk menyambung hidup, jeritan para pedagang, petani,
buruh dan sebagainya karena keadaan yang serba sulit. Ayolah, sebagian dari
kita tidak akan pernah hidup jika tanpa mereka. Indonesia tidak akan merdeka
seutuhnya jika ratapan masih tetap terdengar memenuhi lorong-lorong yang
terabaikan.
Bukan hanya
itu, wajah pendidikan makin terjerembab ke lembah yang suram. Waktu habis
terkuras hanya membincang, mencoba dan merubah moda pembelajaran. Peserta didik
termangu hendak berbuat apa. Materi mengambang, pikiran melayang, aral
mengancam masa depan mereka jika kondisi tidak sepenuhnya pulih. Masalah di Negeri
ini memang tidak pernah habis untuk diperbincangkan.
Apa yang
mesti dilakukan? Sederhana, kita tidak perlu mengangkat senjata seperti para pendahulu.
Kita tidak perlu bergerilya meninggalkan rumah, keluarga, harta benda dan sebagainya.
Kita tidak usah cemas terganggu dentuman peluru di malam hari saat tidur. Yang
kita butuhkan hanya menyadari kekuatan sejati sebagai warga negara, yaitu
bersatu.
Bersatu dalam
upaya memulihkan keadaan yang menggerus bangsa Indonesia saat ini. Serangan
wabah yang berpotensi memecah belah persatuan. Saling tuding, kehilangan rasa
kemanusiaan, mengambil kesempatan berbuat curang untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya. Bukan lagi solusi yang menjadi tujuan, justru penanganannya
malah dikomersialisasi. Akibatnya, kepercayaan masyarakat jadi hilang,
memunculkan stigma negatif bahwa semuanya adalah bagian dari kebohongan.
Apakah itu
sulit dilakukan? Tidak sulit. Hanya saja sebagian dari kita terbiasa dengan
rasa pesimis. Mental terjajah belum sepenuhnya hilang dari bumi pertiwi. Indonesia
masih bergantung dari negara lain. Lain sisi, mental kolonial masih tumbuh
subur di negeri ini. Terbukti, yang kaya semakin arogan karena mampu menguasai
segalanya dengan uang. Yang miskin semakin terinjak dan tersingkir. Bahkan
untuk menyambung hidup, mereka harus berderai air mata, mengusap peluh
kekecewaan karena tidak mampu berbuat banyak.
Peringatan
kemerdekaan harusnya jadi refleksi untuk semuanya. Sepertinya kita lupa bahwa
jejak perjuangan para pendahulu untuk kuat adalah kebersamaannya. Kita banyak lupa
bahwa ternyata kekuatan mereka untuk bangkit adalah karena bersatu. Seyogianya kita
banyak belajar dari sejarah. Menjadikan masa lalu sebagai refleksi dalam
melangkah. Tidak hanya menjadikan sejarah sebagai catatan kusam yang hadirnya
momentuman, lalu kemudian terlewati dan terlupakan.
https://enewsindonesia.com/bersama-kita-kuat-bersatu-kita-bangkit/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar