Sehari pasca Sumpah Pemuda digaungkan, pelajar kontan mengekspresikan aksinya dalam bentuk lain. Hal biasa, bukan hal baru karena kejadiannya berulang, malah terkesan membosankan dan meresahkan. Yah, Pemuda yang sejatinya memainkan peran inti dalam unjuk karya dan prestasi di hari Sumpah Pemuda malah mempertontonkan aksi menohok. Meski hanya oknum, tetapi efeknya cukup melebar. Maka muncullah istilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kejadian
tawuran antar pelajar hampir dialami oleh seluruh daerah di Indonesia,
terkhusus yang terjadi di Rumbo Kec. Baraka, Enrekang tanggal 29 Oktober 2021
merupakan alarm yang keras bagi seluruh stakeholder, bahwa ada yang mesti diperbaiki.
Aksi tawuran atau perkelahian yang kerap terjadi antar pelajar bukan hanya
sekali-dua kali saja, tetapi terus terulang. Bukan karena tidak tertangani, cukup
tertangani malah. Setiap hal itu terjadi, pasti ada pemanggilan kepada pihak orang
tua, guru, termasuk pelaku tawuran itu sendiri. Selalu di mediasi oleh pihak
kepolisian dengan melibatkan aparat pemerintahan di daerah tersebut.
Lalu
kenapa kejadian itu terus terulang?
Inilah
yang akan kita ulas secara singkat dan sesingkat-singkatnya kamerad. Bukan
karena saya merasa pintar dan tahu segalanya tentang tawuran. Oh tidak, tetapi
lebih kepada kegelisahan yang selama ini terpendam sebagai orang yang pernah
muda (cie yang sekarang sudah tua) haha... Santai kamerad, wajahnya tidak perlu
terlipat begitulah. Kita bahasnya pelan-pelan saja, mumpung kopinya masih
panas.
Kita
mulai dengan sedikit merefleksi lahirnya Sumpah Pemuda.
Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang kala itu diketuai oleh Sugondo Djojopospito
mengemukakan harapannya bahwa kongres kedua yang mereka lakukan pada rapat
pertama tanggal 27 Oktober 1928 dapat memperkuat semangat persatuan dalam
sanubari para pemuda. Muhammad Yamin pun menguraikan 5 faktor yang bisa
memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan,
dan kemauan. Rapat kedua, 28 Oktober 1928 khusus membahas masalah pendidikan. Poernomowoelan
dan Sarmidi Mangoensarkoro berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan
kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di
rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. (Lebih lanjut kamerad bisa baca
buku PPKn kelas VIII atau referensi lain).
Pertanyaannya
kemudian, apakah dasar pemikiran bersama oleh PPPI mencetus Sumpah Pemuda menjadi
pondasi berbuat hari ini?
Sepertinya
kita belum sampai memahami dasar pemikiran bersama PPPI tersebut. Kalaupun kita
paham, sepertinya kita masih gagal mentransformasikannya dalam kehidupan.
Sepertinya kita banyak lupa uraian Muhammad Yamin tentang 5 faktor itu. Lebih khusus
lagi pada wajah pendidikan, kita harus sadari bahwa muruahnya semakin dalam
terjerembab 2 tahun terakhir. Menyeret pendidikan mengalami degradasi yang
cukup mengkhawatirkan. Mengakibatkan pemuda tidak lagi memposisikan diri
sebagai lakon sentral pemersatu, tetapi malah sebaliknya.
Jadi,
apa yang mesti dilakukan?
Menggalakkan
edukasi tentang peran pemuda sebagai iron stock di masa mendatang, dan itu
harus dimulai dari lingkungan keluarga dan sekolah sejak dini. Tidak cukup hanya
mengandalkan sekolah sebagai tempat satu-satunya dalam mentransfusikan ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai karakter, tidak cukup hanya memepet guru yang harus
bertanggung jawab penuh. Percayalah kamerad, guru tidak akan sanggup karena
mereka juga punya keterbatasan jangkauan, perlu ditopang oleh peran aktif orang
tua di lingkungan keluarga juga masyarakat.
Selain
itu, Sejarah Sumpah Pemuda, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Pendidikan Nasional
dan hari-hari penting lainnya tidak cukup jika hanya ramai saat momentuman
saja, tetapi harus terus digiatkan dalam bentuk dan rupa lain, setidaknya jadi
proteksi bagi naluri pemuda yang hangat-hangatnya mencari jati dirinya. Senggol
dikit, ricuh! (ah seperti konser dangdut saja).
Apakah
itu berat dilakukan?
Berat
memang, tetapi itu harus dilakukan. Ibaratnya seperti pesan Soekarno,
“Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.” Hal
inilah yang harus ditempuh, selain mendidik dan mengajar di lingkungan keluarga
serta sekolah, orang tua, guru, masyarakat dan seluruh pihak harus melakukan
pengawasan secara kontinu kepada generasi. Agar bertanah air satu, berbangsa
satu dan berbahasa satu bukan hanya sekadar teriakan yang memenuhi gendang
telinga.
Lanjutnya
lain kali kamerad, jempol juga bisa engkel karena mengetik. Lagian kopinya
sudah mulai dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar