Halaman

Rabu, 25 Agustus 2021

Bersama Kita Kuat Bersatu Kita Bangkit



Agustus 2021 masih menyisakan kobaran semangat memperingati dirgahayu ke-76 bagi Indonesia. Kibaran sang dwiwarna masih berdiri kokoh dibeberapa tempat. Twibbon bertuliskan ucapan selamat dengan gambar beragam terlihat memenuhi dinding sosial media. Bermacam aksi dipamerkan dalam mengekspresikan perayaan kemerdekaan Indonesia. Pemandangan yang lazim disaksikan setiap menyambut hari bersejarah itu.

Suasana perayaan HUT RI ke-76 tahun ini tidak berbeda jauh dengan suasana tahun lalu. Ingar bingar isu covid 19 masih memenuhi seantero ibu pertiwi. Seakan tidak pernah usai, berita yang tersiar selalu memperlihatkan korban yang terus berjatuhan. Meski stigma tentang kengerian corona tidak seangker awal kemunculannya.

Euforia kemerdekaan menutup kenyataan yang ada, bahwa Indonesia tengah berjuang mengarungi samudera luas yang tidak bertepi. Seolah menari bebas di atas pundak yang tanpa disadari atau bahkan disadari kepala sudah tercebur dikedalaman. Ayolah, jika kepala tidak mampu berdiri tegak, setidaknya tolehkan sedikit saja untuk membuka mata bahwa keadaan runyam saat ini membutuhkan hal sederhana selain sekadar berucap “MERDEKA”.

Setumpuk permasalahan kian menggunung. Sederet ratapan kian membuncah. Dilain sisi kita menutup mata dan telinga, mengedepankan ego, mengenyampingkan kebersamaan. Kita dengan lantang berucap “Merdeka”, sementara buta hati dengan keprihatinan yang dialami saudara sedarah.

Kita sibuk mengutuk, menyumpahi musibah yang menimpa negeri ini. Sumpah serapah dilontarkan bak tau segalanya, padahal hanya bermodalkan cerita yang berpindah dari mulut ke mulut. Memunculkan beragam spekulatif. Mirisnya, kekhilafan terbesar yang dibiarkan menghitam dalam diri adalah terbiasa mengisi hidup dengan dugaan. Tanpa ada upaya tabayyun terlebih dahulu.

Sungguh ironi, kita diberi kebebasan untuk meletakkan kepercayaan di mana saja dan kepada siapa saja, tapi bukan berarti kebebasan yang dimiliki justru menjadi penyebab orang lain tersakiti. Kita boleh berpendapat, tapi dengan terukur, bukan dengan kebablasan. Kita boleh menganggap corona itu tidak ada, tapi hargai mereka yang sudah banyak kehilangan sanak saudara. Bukan dengan mengumbar seolah tau segalanya. Kita mesti berpikir, mungkin ketangguhan yang dimiliki saat menyumpah adalah salah satu cara Tuhan menguji. Agar nanti saat arah mata angin berubah, urat malu tidak perlu ditutupi dengan kedua tangan menengadah penuh penyesalan.

Apakah perayaan kemerdekaan dalam keadaan sekarang itu salah? Apakah ucapan “Merdeka” ditengah hiruk seperti sekarang itu keliru? Oh tidak kamerad, sama sekali tidak salah, sama sekali tidak keliru. Justru menyambutnya adalah bagian dari keharusan, karena di dalamnya ada pengibaran bendera merah putih yang diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di sana tersirat makna bahwa Indonesia hari ini dan nanti harus bangkit dari keterpurukan, Indonesia harus bebas dari belenggu masalah yang menderanya. Selain itu, di dalamnya juga kita dapat mengenang pahlawan negara yang gugur membela nusa dan bangsa melalui lagu Mengheningkan Cipta.

Lalu di mana letak kekeliruannya? Adalah ketika kita larut dalam perasaan gembira yang berlebihan, sementara saudara sebangsa setanah air berjuang sendiri melewati masa sulit karena penyakit yang diderita, derai air mata yang terus mengalir karena kehilangan pekerjaan untuk menyambung hidup, jeritan para pedagang, petani, buruh dan sebagainya karena keadaan yang serba sulit. Ayolah, sebagian dari kita tidak akan pernah hidup jika tanpa mereka. Indonesia tidak akan merdeka seutuhnya jika ratapan masih tetap terdengar memenuhi lorong-lorong yang terabaikan.

Bukan hanya itu, wajah pendidikan makin terjerembab ke lembah yang suram. Waktu habis terkuras hanya membincang, mencoba dan merubah moda pembelajaran. Peserta didik termangu hendak berbuat apa. Materi mengambang, pikiran melayang, aral mengancam masa depan mereka jika kondisi tidak sepenuhnya pulih. Masalah di Negeri ini memang tidak pernah habis untuk diperbincangkan.

Apa yang mesti dilakukan? Sederhana, kita tidak perlu mengangkat senjata seperti para pendahulu. Kita tidak perlu bergerilya meninggalkan rumah, keluarga, harta benda dan sebagainya. Kita tidak usah cemas terganggu dentuman peluru di malam hari saat tidur. Yang kita butuhkan hanya menyadari kekuatan sejati sebagai warga negara, yaitu bersatu.

Bersatu dalam upaya memulihkan keadaan yang menggerus bangsa Indonesia saat ini. Serangan wabah yang berpotensi memecah belah persatuan. Saling tuding, kehilangan rasa kemanusiaan, mengambil kesempatan berbuat curang untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan lagi solusi yang menjadi tujuan, justru penanganannya malah dikomersialisasi. Akibatnya, kepercayaan masyarakat jadi hilang, memunculkan stigma negatif bahwa semuanya adalah bagian dari kebohongan.

Apakah itu sulit dilakukan? Tidak sulit. Hanya saja sebagian dari kita terbiasa dengan rasa pesimis. Mental terjajah belum sepenuhnya hilang dari bumi pertiwi. Indonesia masih bergantung dari negara lain. Lain sisi, mental kolonial masih tumbuh subur di negeri ini. Terbukti, yang kaya semakin arogan karena mampu menguasai segalanya dengan uang. Yang miskin semakin terinjak dan tersingkir. Bahkan untuk menyambung hidup, mereka harus berderai air mata, mengusap peluh kekecewaan karena tidak mampu berbuat banyak.

Peringatan kemerdekaan harusnya jadi refleksi untuk semuanya. Sepertinya kita lupa bahwa jejak perjuangan para pendahulu untuk kuat adalah kebersamaannya. Kita banyak lupa bahwa ternyata kekuatan mereka untuk bangkit adalah karena bersatu. Seyogianya kita banyak belajar dari sejarah. Menjadikan masa lalu sebagai refleksi dalam melangkah. Tidak hanya menjadikan sejarah sebagai catatan kusam yang hadirnya momentuman, lalu kemudian terlewati dan terlupakan.

https://enewsindonesia.com/bersama-kita-kuat-bersatu-kita-bangkit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar