Senin, 11 Desember 2023

Mengulik Sosok Inspiratif.


"Murdi, saya punya rencana guru-guru dan siswa di sekolah buat buku. Bagaimana menurutmu?". Ucapnya membuka percakapan.

"Mantap kanda kepsek, saya dukung penuh", jawabku sedikit kegirangan.

"Tetapi kamu yang tangani, bagaimana?", sambungnya.

Kali ini, saya tidak langsung jawab, hanya dengan sedikit tertawa kecil.

"Kalau kamu siap, kita upayakan sampai buku ini terbit", sambungnya lagi.

"Wah berat ini, proses penerbitannya itu yang ribet", bisikku dalam hati.

Wajahnya masih menunggu jawabanku, sementara saya masih manggut-manggut. Proses timbang-menimbang masih begulir di dalam kepalaku.

Kuseruput kopiku yang memang sudah tersedia di atas meja sebelum saya sampai. Beliau tahu seleraku, sayapun tau kebiasaannya. Setiap dapat undangan via telefon ke rumahnya, berarti ada perbincangan serius.

"Bisa kanda kepsek!", jawabku mantap.

"Tetapi saranku jangan setengah-setengah, kalau bisa yang ber-ISBN", sambungku.

Saya sudah yakin dengan jawabanku karena saya tau bahwa beliau bukan hanya sekadar menyuruh, meminta dan setelahnya terima beres.
 
"Oke, apa yang kamu butuhkan?, Tangannya meraih pulpen dan secarik kertas.

"Nah itu pertanyaan yang paling saya tunggu", gumamku dalam hati.

Sambil senyum tipis, saya memperbaiki posisi duduk, "Cukup dukungan kakanda sebagai kepsek agar semua guru dan siswa terlibat menulis", jawabku. 

Beliau merebahkan badannya di sandaran kursi. Pandangannya terlempar keluar pintu yang sedang terbuka di depannya. Tangannya yang menggenggam pulpen diletakkan diantara mulut dan hidungnya. Saya tahu kalau itu ciri khas beliau saat sedang berpikir.

Kuseruput perlahan kopiku. Takut suara seruputku mengganggu konsentrasi berpikirnya. Saya bisa tebak, apa yang beliau pikirkan. Jangankan menulis, membaca imbauan atau pemberitahuan di grup whatsapp saja guru sangat malas.

"Hari senin setelah upacara penaikan bendera kita rapat dewan guru membahas ini". Suaranya memecah keheningan beberapa saat.

Begitulah beliau, cepat dalam berpikir dan tepat dalam mengambil keputusan. Buku agenda rapatnya diambil dan memulai mencatat satu per satu agenda rapat.

"Nanti kalau rencana ini jadi, saya sampaikan memang agar didampingi teman-teman guru dalam menulis, sayapun begitu karena kelemahan saya sulit mendeskripsikan isi kepala lewat tulisan", ucapnya setelah menutup buku agenda rapatnya.

Ucapannya saya tanggapi dengan cengengesan.

"Tulisan sendiri saja amburadul, malah diminta dampingi orang lain menulis, kurang tepat ini", gumamku dalam hati sambil garuk dahi.

"Minimal saya dan teman-teman guru nanti bisa paham teknik memulai tulisan karena bagi saya memulainya itu yang sulit", ujarnya.

"Memulainya yang sulit, meneruskan yang berat, menyelesaikan yang repot", sambungku diikuti gelak tawa kami berdua.

Kalian tahu? Bukan menulisnya yang berat, proses penerbitannya pun bagi saya tidak berat-berat amat karena saya sudah ada sedikit pengalaman. Tetapi mendampingi orang lain menulis dengan pengetahuan dan pengalaman terbatas, itu yang paling benar-benar berat bagi saya. Apalagi orang yang meminta didampingi ini adalah seorang kepala sekolah yang selama ini menjadi pelabuhan terakhir saya jika ada yang ingin dikonsultasikan. Setiap ada masalah yang saya hadapi, beliaulah sumber jawaban dan solusinya.

"Saya panggil ke sini dan diskusi karena saya anggap kamu mampu. Tetapi jangan dipaksakan apalagi jika itu memberatkan", kali ini beliau yang cengengesan. Mungkin karena beliau sadar kalau pekerjaan ini tidak mudah, apalagi beliau tahu persis beban kerja guru.

Saya respon cengengesan beliau dengan cengengesan pula, akhirnya ruang tamunya dipenuhi dengan suara cengengesan.

"Minum dulu kopinya, ini juga jangan cuma di lihat-lihat", tangannya menyodorkan dua piring berisi kue mendekat ke gelas kopiku. Langsung saja saya sambar donat yang memang sejak tadi jadi incaran mata saya. Biasanya, belum dipersilakan, saya sudah tanggap. Mungkin karena saat itu saya sibuk putar otak.

Belum juga saya respon pembahasan, beliau alihkan pembicaraan tentang beberapa tantangan yang kemungkinan dihadapi dalam projek buku ini. Saya cuma manggut-manggut karena mulut terhalang donat. Fokusku cuma di piring.

"Saya yakin, kamu bisa tangani projek ini Murdi. Saya percaya kemampuanmu", bola kembali menggelinding.

Kalian tahu? Kelebihan beliau saat mempercayakan tugas ke gurunya, pasti beres. Feeling beliau kuat, tahu kapasitas guru-gurunya. Beliau tahu kemampuan masing-masing gurunya. Makanya setiap pembagian job, guru yang beliau percayakan untuk menangani suatu pekerjaan, hampir tidak ada kesulitan yang dihadapi. Beliau juga hebat berdayakan kelebihan yang dimiliki masing-masing gurunya.

Paling keren, beliau tidak pernah meninggalkan gurunya saat ada pekerjaan. Selalu ada mendampingi. Kalaupun ada kesibukan beliau yang lain dan tidak sempat hadir, beliau selalu berkabar via telefon menanyakan progres dan masalah apa yang dihadapi. Paling berkesan, jika hasil pekerjaan kurang maksimal, beliau tidak pernah menunjukkan kekecewaannya, selalu beliau respon dengan apresiasi.

Hal ini yang saya pegang bahwa jika beliau percayakan satu pekerjaan, berarti itu sebuah pengetahuan baru yang harus dijemput. Tidak perlu ragu, karena beliau pasti ada mendampingi.

Berbekal keyakinan itu, tidak ada tawar menawar. Apalagi isi piring di depan saya sudah hampir tandas. Ternyata tadi, saya kurang respon karena lapar. Lain sisi, kesempatan ini jadi panggung untuk saya belajar lagi.

Tidak sampai dua bulan, dua karya yang di cita-citakan beliau berhasil digenggam. Satu buku berisi tulisannya sebagai kepala sekolah serta guru-guru yang berjudul "Guru Dalam Kemelut Pandemi", satu buku siswa berisi kumpulan puisi berjudul "Tekadku". Guru dan siswa yang terlibat menulis masing-masing dapat 1 eksemplar. Karya guru dan siswa masing-masing 1 eksemplar di setor langsung oleh beliau ke perpustakaan umum Kabupaten Enrekang.

Kalau guru-guru menulis tema tentang strategi pembelajaran di masa pandemi, beliau khusus mengangkat tema tentang peran kepala sekolah sebagai pemimpin satuan pendidikan. Dari tema itu, beliau mendapat ide mengangkat judul tulisannya "Garis Tangan Menjadi Tantangan".

Pesan yang disampaikan beliau melalui tulisannya adalah tidak ada yang kebetulan. Semua sudah digariskan sebelumnya. Jika memang sudah digariskan, selalu ada proses yang akan mengarahkan untuk sampai pada titik itu. Hanya saja, perlu diingat bahwa setiap keputusan yang kita pilih untuk jalani, pasti akan diperhadapkan dengan tantangan yang setingkat dengan kedudukan yang telah dicapai itu. Jadi, jangan jemawa. Jadikan jabatan sebagai amanah untuk menebarkan kebaikan, serta bermanfaat untuk orang di sekitar,, (Nuim Khayat).



Lain waktu, beliau kembali mengundang ke rumahnya membincang hal lain. Saat itu, beliau sudah berstatus sebagai pengawas. Kali ini menyangkut tesisnya yang sebelumnya pernah beliau singgung saat masih kepala sekolah dan baru terdaftar sebagai mahasiswa pascasarjana di salah satu perguruan tinggi.

"Nanti, saya butuh lagi isi kepalanya Murdi...", ucapnya dengan nada dan senyum khasnya.

Saya cuma jawab seadanya kala itu. Yang saya pahami, jika menyangkut kepentingan pribadi beliau dan minta untuk dibantu berarti beliau memang butuh untuk dibantu.

Kalimat yang sebelumnya pernah beliau sampaikan masih diulang waktu itu.

"Saya terbatas soal mendeskripsikan kalimat Murdi, saya tidak tahu memulai dari mana dan menggunakan kalimat yang bagaimana. Kadang waktu saya habis hanya mengetik satu kelimat, lalu menghapus dua kalimat", terangnya.

"Saya bantu semampuku kanda pengawas", sahutku.

Medio Juni 2023, beliau sudah konfirmasi tentang tugas itu. Beliau minta dibantu karya tulisnya khusus BAB 4. Tetapi mulainya minggu pertama Juli 2023. Waktu itu, beliau sudah sering keluhkan penyakitnya.

"Tolong dibantu teruskan ya...", Ucapnya.

"Ini kapan jatuh temponya kanda pengawas?", Tanyaku.

"Itu dia masalahnya, karena 31 Agustus 2023 harus yudisium. Kalau tidak, terpaksa bayar SPP lagi", terangnya terkekeh.

"Wah, saya ragu bisa tuntas ini barang", Balasku bercanda.

"Ah, saya sudah pilih orang tepat yang bisa tuntaskan itu", selanya dengan ekspresi yakin.

Begitulah cara beliau memberi dukungan dan menyemangati gurunya. Secara pribadi, kalimat pemungkas beliau yang seperti itu membuat saya tidak bisa mencari alasan untuk lolos.

Kalian tahu? Intrik cerdas yang pernah beliau perlihatkan di mata saya saat sudah dua hari berjibaku dengan tesisnya.

"Murdi, tolong dikirimkan file berkas kamu saat pengusulan tambahan penghasilan", suaranya lewat via telfon.

Karena kebetulan saat itu memang sementara di depan laptop, langsung saja saya kirimkan tanpa banyak tanya dan rasa curiga sedikit pun.

Beberapa menit kemudian, beliau kirimkan bukti transfer dengan caption "Pembeli kopi dulu ini". Layar laptop saya tinggalkan, saya mengerutkan dahi sebelum merespon isi chatnya.

"Dari mana dapat nomor rekening beliau ini?", Gumamku dalam hati.

Barulah saya sadar kalau ternyata file yang beliau minta sebelumnya memang berisi nomor rekening. Cara beliau mendapat nomor rekening sangat elegan, meminta dikirimkan file itu untuk mengaburkan modusnya yang sudah pasti saya tolak mentah-mentah andai beliau minta secara terang-terangan. Di kepala saya saat beliau minta, mungkin ada orang lain yang memang butuh file itu. Tidak pernah terpikir sedikit pun kalau sebenarnya beliau incar nomor rekening di dalamnya.

"Tidak cocok ini kanda pengawas. Kalau begini, saya bukan membantu namanya", responku lewat chat.

"Untuk beli kopi dan kretek saja, biar tidak mengantuk begadang. Itu saja belum cukup", balasnya dengan emot tertawa.

Dalam hati, berarti masih ada niat beliau ini mau tambah kalau dicerna isi chatnya.

"Kalau masih ditambah, saya berhenti kerja", ancamku.

"Saya tidak wisuda Murdi kalau kamu berhenti kerja itu." Ujarnya.

Berbekal semangat dan pertimbangan waktu yang tinggal sedikit, data yang diberikan tuntas saya olah hanya dalam waktu empat hari lima malam dengan hasil 86 halaman. Itu hanya BAB 4 saja. Tiga BAB sebelumnya, beliau sudah tuntaskan sendiri sampai seminar proposal.

Sayangnya, karya tulis beliau hanya sampai pada titik pendaftaran ujian hasil. Ujian sudah terjadwal tetapi Allah berkehendak lain. Belum sempat ujian, beliau harus masuk rumah sakit. Tidak ada lagi komunikasi sampai akhirnya kabar duka datang. Yang paling menyakitkan dan mengganjal buat saya adalah janji saya untuk kawal karya tulis beliau sampai bertoga. Ternyata, Allah menghentikan urusan dunia beliau. 

Begitulah cara beliau memperlakukan gurunya. Jika beliau memberikan tugas atau tanggung jawab, sangat ringan dan ikhlas diselesaikan tanpa menuntut apapun. Beliau melatih rasa tanggung jawab, menumbuhkan kesadaran untuk berbuat, serta membiasakan kerja ikhlas. Paling pokok, jika pekerjaan itu menyangkut kepentingan sekolah, beliaulah yang lebih dahulu tampil di depan sebagai patron. Beliau tidak menyuruh, tetapi menjadi teladan untuk diikuti dari belakang.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Tiga semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara ini, tercermin dalam diri beliau.

Kalimat yang paling sering kita dapatkan saat konsultasi ke beliau baik via telfon maupun secara langsung.

"Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?". Atau "Bagaimana?, Progresnya sudah sampai di mana? Ada masalah?".

Kalimat seperti ini memberi ruang seluas-luasnya kepada kita untuk menjelaskan masalah yang dihadapi tanpa sungkan sedikit pun. Selain tanggap dalam merespon, beliau juga salah satu pendengar yang baik, serta pengambil keputusan yang bijak. Namun, bagaimanapun juga, beliau tetap manusia biasa. Selalu tidak luput dari kekurangan.

Banyak catatan tentang beliau yang tidak akan habis untuk diulas. Saya tidak bisa bayangkan yang sudah puluhan tahun kenal beliau. Saya yang hanya mengenalnya kurang lebih empat tahun saja sakit kehilangan, apalagi keluarga dekatnya.

Tenang di alam sana kakanda...

Murdy Garuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar