Sabtu, 30 Oktober 2021

Tawuran Pelajar di saat Peringatan Sumpah Pemuda digaungkan.


Sehari pasca Sumpah Pemuda digaungkan, pelajar kontan mengekspresikan aksinya dalam bentuk lain. Hal biasa, bukan hal baru karena kejadiannya berulang, malah terkesan membosankan dan meresahkan. Yah, Pemuda yang sejatinya memainkan peran inti dalam unjuk karya dan prestasi di hari Sumpah Pemuda malah mempertontonkan aksi menohok. Meski hanya oknum, tetapi efeknya cukup melebar. Maka muncullah istilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Kejadian tawuran antar pelajar hampir dialami oleh seluruh daerah di Indonesia, terkhusus yang terjadi di Rumbo Kec. Baraka, Enrekang tanggal 29 Oktober 2021 merupakan alarm yang keras bagi seluruh stakeholder, bahwa ada yang mesti diperbaiki. Aksi tawuran atau perkelahian yang kerap terjadi antar pelajar bukan hanya sekali-dua kali saja, tetapi terus terulang. Bukan karena tidak tertangani, cukup tertangani malah. Setiap hal itu terjadi, pasti ada pemanggilan kepada pihak orang tua, guru, termasuk pelaku tawuran itu sendiri. Selalu di mediasi oleh pihak kepolisian dengan melibatkan aparat pemerintahan di daerah tersebut.

Lalu kenapa kejadian itu terus terulang?

Inilah yang akan kita ulas secara singkat dan sesingkat-singkatnya kamerad. Bukan karena saya merasa pintar dan tahu segalanya tentang tawuran. Oh tidak, tetapi lebih kepada kegelisahan yang selama ini terpendam sebagai orang yang pernah muda (cie yang sekarang sudah tua) haha... Santai kamerad, wajahnya tidak perlu terlipat begitulah. Kita bahasnya pelan-pelan saja, mumpung kopinya masih panas.

Kita mulai dengan sedikit merefleksi lahirnya Sumpah Pemuda.

Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang kala itu diketuai oleh Sugondo Djojopospito mengemukakan harapannya bahwa kongres kedua yang mereka lakukan pada rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928 dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Muhammad Yamin pun menguraikan 5 faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Rapat kedua, 28 Oktober 1928 khusus membahas masalah pendidikan. Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. (Lebih lanjut kamerad bisa baca buku PPKn kelas VIII atau referensi lain).

Pertanyaannya kemudian, apakah dasar pemikiran bersama oleh PPPI mencetus Sumpah Pemuda menjadi pondasi berbuat hari ini?

Sepertinya kita belum sampai memahami dasar pemikiran bersama PPPI tersebut. Kalaupun kita paham, sepertinya kita masih gagal mentransformasikannya dalam kehidupan. Sepertinya kita banyak lupa uraian Muhammad Yamin tentang 5 faktor itu. Lebih khusus lagi pada wajah pendidikan, kita harus sadari bahwa muruahnya semakin dalam terjerembab 2 tahun terakhir. Menyeret pendidikan mengalami degradasi yang cukup mengkhawatirkan. Mengakibatkan pemuda tidak lagi memposisikan diri sebagai lakon sentral pemersatu, tetapi malah sebaliknya.

Jadi, apa yang mesti dilakukan?

Menggalakkan edukasi tentang peran pemuda sebagai iron stock di masa mendatang, dan itu harus dimulai dari lingkungan keluarga dan sekolah sejak dini. Tidak cukup hanya mengandalkan sekolah sebagai tempat satu-satunya dalam mentransfusikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai karakter, tidak cukup hanya memepet guru yang harus bertanggung jawab penuh. Percayalah kamerad, guru tidak akan sanggup karena mereka juga punya keterbatasan jangkauan, perlu ditopang oleh peran aktif orang tua di lingkungan keluarga juga masyarakat.

Selain itu, Sejarah Sumpah Pemuda, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Pendidikan Nasional dan hari-hari penting lainnya tidak cukup jika hanya ramai saat momentuman saja, tetapi harus terus digiatkan dalam bentuk dan rupa lain, setidaknya jadi proteksi bagi naluri pemuda yang hangat-hangatnya mencari jati dirinya. Senggol dikit, ricuh! (ah seperti konser dangdut saja).

Apakah itu berat dilakukan?

Berat memang, tetapi itu harus dilakukan. Ibaratnya seperti pesan Soekarno, “Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.” Hal inilah yang harus ditempuh, selain mendidik dan mengajar di lingkungan keluarga serta sekolah, orang tua, guru, masyarakat dan seluruh pihak harus melakukan pengawasan secara kontinu kepada generasi. Agar bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu bukan hanya sekadar teriakan yang memenuhi gendang telinga.

Lanjutnya lain kali kamerad, jempol juga bisa engkel karena mengetik. Lagian kopinya sudah mulai dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar